Dampak
Iklan Politik Terhadap Hasil Pemilu
Wildan Lutvian Fathoni
IK/153100064
Abstrak
This paper analyzes the
effects of political advertising
on voting. Discuss
some important issues and
difficulties in measuring the
effects of political advertising.
Political advertising through the mass media
is one of the frequently
chosen alternative political parties and candidates for political leaders in
the implementation of the election campaign period especially in
digital and information
at this time. but the results obtained do not necessarily
match those in want. political advertising activity
can not be determined to contribute
fully to the successful outcome of the vote
Kata Kunci : Efisiensi, dampak iklan politik, hasil pemilu
Pendahuluan
Kegiatan di bidang media massa sekarang
ini termasuk di Indonesia telah menjadi sebuah industry yang cukup besar.
Dengan masuknya unsur kapital, media
massa mau tak mau harus memikirkan pasar, demi memperoleh keuntungan baik dari
iklan ataupun penjualan. Tak terkecuali dalam kampanye politik, karena pengaruh
modal, maka media massa akan lebih memperhatikan kepuasan khalayak (
pelanggan/pengiklan ) dengan partai politik , atas dasar agama, nasionalisme,
ataupun kerakyatan ( sosialisme ). Keadaan demikian sangat banyak sekali kita
jumpai ketika detik – detik di selenggarakannya pemilu atau waktu yang
diberikan untuk kampanye, dimana saat itu masyarakat mencermati orientasi dari
beberapa partai politik. Di
dalam kajian social politics engineering, peran media sebagai second
hand reality sangatlah terasa. Kontruksi terhadap realitas menjadi
keniscayaan ketika media memainkan perannya di ranah politik. Proses supply
and demand dan logika transaksional politik nasional inilah yang melahirkan
terminologi politik media dan media politik yang berujung pada opini publik.
Saat demokrasi sudah menjadi bagian dari industri, kesempatan terbuka
seluas-luasnya untuk “menanamkan saham” di dalamnya.
Berbagai upaya yang dilakukan partai
politik maupun calon pemimpin politik untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan antara lain dengan melakukan kampanye politik. Melalui proses
kampanye politik ini, partai politik dan para kandidat pemimpin politik dapat
mendiskripsikan gagasan dan visi misi yang dikemas melalui pesan-pesan politik.
Pesan tersebut bertujuan membentuk dan
mempengaruhi opini, sikap dan sampai pada pengambilan keputusan masyarakat pada
partainya.
Dari berbagai macam cara kampanye di era
digital ini partai politik tidak ingin meninggalkan kesempatan emasnya untuk melakukan
kampanye melalui iklan di media massa. Karena media massa mampu menimbulkan
dampak tertentu pada proses pengambilan keputusan. Dampak komunikasi politik
tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap bahkan sampai
pada perubahan dalam pengambilan keputusan terhadap suatu kandidat atau partai
politik tertentu, karena isu media massa
yang begitu melekat dan merakyat. Apa dan bagaimana pun bentuk dan sifatnya,
komunikasi politik tersebut dapat menimbulkan efek tertentu pada khalayak luas.
Terpaan Iklan politik melalui media
massa adalah salah satu alternatif yang sering dipilih partai politik maupun
para kandidat pemimpin politik dalam pelaksanaan kampanye pemilihan umum.
Meskipun harus mengeluarkan dana yang cukup besar, partai politik sering
menggunakan iklan melalui media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan
upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka.
Sejak awal perkembangannya sampai saat
ini dampak kampanye melalui media massa mendapat perhatian para ahli dan
peneliti dari berbagai bidang studi. Dalam studi komunikasi misalnya, para ahli
dan peneliti telah memberikan perhatian mereka terhadap dampak media massa
terhadap proses pengambilan keputusan sejak tahun 1950-an, diawali dengan studi
Paul Lazarsfeld di Erie County, Ohio (1954) sebelum adanya TV yang menunjukkan
adanya keterkaitan antara proses pengambilan keputusan wajib pilih dengan
penggunaan media.
Dengan kata lain, dampak media massa
terhadap proses pengambilan keputusan wajib pilih ternyata hanya memperkuat (reinforce)
keyakinan yang sebelumnya memang sudah dimiliki masyarakat. Para ahli dan
peneliti pada masa selanjutnya mengembangkan penelitian tersebut sehingga
menghasilkan teori-teori dampak/efek media massa dalam pemilihan umum dan
dukungan terhadap partai politik yang sangat terkenal sampai sekarang, seperti Agenda-setting
(McCombs & Shaw, 1972), dan Spiral of Silence (Noelle-Neumann,
1973). Namun hasil-hasil penelitian tersebut sampai saat ini belum mampu
sepenuhnya menjawab pertanyaan dan menghasilkan kesepakatan diantara para ahli
dan peneliti bidang komunikasi massa mengenai ukuran, bentuk, dan sifat dampak
media terhadap khalayaknya.
Tulisan ini untuk membahas aspek –
aspek penting yang berkaitan dengan analisis
dampak iklan politik melalui media massa terhadap pengambilan keputusan dalam
pemilihan umum.
Pembahasan
Pemilihan umum di Indonesia sudah
diadakan sejak tahun 1955 namun untuk pemilihan umum yang berfungsi untuk
memilih presiden dan wakil presiden baru dimulai pada tahun 2004. Pada tahun 2004 adalah awal dari pesta
demokrasi yang diadakan di Negara Indonesia yang kemudian diadakan lagi pada
tahun 2009. Sehingga pada dua pesta demokrasi tersebut telah merubah strategi
komunikasi partai politik maupun para kandidat pemimpin politik dengan lebih
banyak menggunakan media massa sebagai saluran kampanye politik.
Kampanye merupakan salah satu upaya
komunikasi politik yang biasa dilakukan oleh peserta Pemilu. Kampanye biasanya
berkaitan dengan pembentukan perilaku yang sejalan dengan norma dan nilai-nilai
yang berlaku. Selain itu, kampanye juga memberi perhatian pada upaya
mengarahkan, memperkuat, dan mengaktifkan kecenderungan perilaku yang ada ke
arah tujuan yang telah diterima secara sosial.
Selama masa kampanye Pemilu media massa
cetak dan elektronik sering dimanfaatkan parpol, kandidat (calon legislatif)
serta calon presiden dan calon wakil presiden sebagai alat penyampaian pesan-pesan
politik. Salah satu media penyampaian pesan-pesan politik itu adalah iklan yang
sering disebut iklan politik.
Pada putaran pertama Pemilu iklan-iklan
tersebut dipasang oleh sejumlah Parpol dan caleg, dan pada putaran ke dua
dipasang oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Iklan-iklan politik
tersebut umumnya berisi pesan-pesan persuasif kepada masyarakat yang disusun
sedemikian rupa untuk menarik perhatian dan simpati khalayak. Pesan-pesan dalam
iklan-iklan tersebut dimaksudkan agar pada saatnya nanti masyarakat mau
memberikan suara mereka dengan memilih calon-calon dari Parpol tersebut sebagai
wakil-wakil mereka di DPR-RI dan DPRD.
Penyampaian pesan-pesan dalam iklan politik tersebut
kurang memperhatikan fungsinya dalam setiap tahapan kampanye. Parpol, caleg,
serta calon presiden dan calon wakil presiden yang mampu membiayai pembuatan
dan pemasangan iklan politik dalam media massa bagian besar memasang iklan yang
sama yang disajikan dalam media yang sama sejak awal sampai akhir masa kampanye
dan cenderung akan seragam dan bersaing. Padahal, menurut Valentino dan
kawan-kawan (2002), iklan politik memiliki beberapa fungsi, tergantung pada
tahap-tahap kampanye dan karakteristik calon yang bersangkutan. Pada tahap awal
kampanye iklan tersebut dapat difokuskan pada kualitas pribadi calon dalam
upaya memperkenalkan nama calon dan menumbuhkan kesadaran mengenai
posisi-posisi isu penting.
segi sifat pesan,
iklan dapat juga digolongkan menjadi iklan positif dan iklan negatif. Iklan positif
adalah iklan yang memuat keunggulan dari sebuah kontestan yang dipasarkan
Sedangkan iklan negatif adalah iklan tentang kelemahan pesaing. Iklan negatif
lebih cepat menarik per-hatian pemilih ketimbang iklan positif. Namun demikian,
iklan negatif tidak selalu memberi citra positif kepada pihak yang menggunakan.
Karena itu, penggunaan iklan negatif harus memperhitungkan resikonya.
Nursal (2004: 234) mengadaptasi Kotler (1995) dan Peter
dan Olson (1993), ada beberapa tahap respon pemilih terhadap stimulasi
tersebut:
1. Awareness,
yaitu bila seseorang dapat mengingat atau menyadari bahwa sebuah pihak tertentu
merupakan sebuah kontestan Pemilu. Dengan jumlah kontestan Pemi-lu yang banyak,
membangun awareness cukup sulit dilakukan, khususnya bagi partai-partai baru.
Dan seorang pemilih tidak akan memilih kontestan yang tidak memiliki brand
awareness.
2. Knowledge, yaitu ketika seorang pemilih
mengetahui beberapa unsur penting mengenai produk kontestan tersebut, baik
substansi maupun presentasi. Unsur-unsur itu akan diinterpretasikan sehingga
membentuk makna politis tertentu dalam pikiran pemilih. Dalam pemasaran produk
komersial, tahap ini disebut juga sebagai tahap pembentuk brand association.
3.
Liking,
yakni tahap di mana seorang pemilih menyukai kontestan tertentu karena satu
atau lebih makna politis yang terbentuk di pikirannya.
4. Preference,
tahap di mana pemilih menganggap bahwa satu atau beberapa makna politik yang
terbentuk sebagai interpretasi terhadap suatu kandidat atau parpol tertentu.
5.
Conviction, pemilih tersebut sampai
pada keyakinan untuk memilih kontestan tertentu.
Menurut Yulianti (2004), iklan politik televisi muncul
pertama kali tahun 1952 dan selalu erat dengan kontroversi. Maka sangatlah
banyak respon masyarakat yang muncul terhadap suatu iklan politik yang muncul
di berbagai media massa.
Sedangkan
tipe-tipe pemilih dapat dibedakan sebagai berikut (Firmanzah, 2007):
1.
Pemilih
Rasional
Pemilih
yang memiliki orientasi tinggi pada “policy-problem-solving” dan
berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih
mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program
kerjanya.
2. Pemilih Kritis
Pemilih
jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai
politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun
tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis.
3. Pemilih
Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang
sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang
kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih
tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal usul,
faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Untuk
Indonesia, pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas.
4.
Pemilih Skeptis
Pemilih keempat adalah pemilih yang tidak memiliki
orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang
kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting.
Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini
sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga
kurang memedulikan “platform” dan kebijakan sebuah partai politik.
Iklan Politik melalui media massa di Indonesia
Dalam catatan sejarah
Sudah Genap sepuluh kali Indonesia mengadakan pesta demokrasi atau pemilu, guna
memilih pemimpinnya, tetapi yang dilaksanakan secara luber ( Langsung, bebas, rahasia ) baru berjalan dua kali yaitu pada
tahun 2004 dan tahun 2009.
Iklan
politik merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup sering dimanfaatkan
oleh para kandidat. Sebagaimana iklan-iklan yang menawarkan produk barang dan
jasa, iklan politik juga menawarkan produk visi misi, rencana program, harapan
dan berbagai pesan politik kepada khalayak media massa. Iklan politik yang
dibuat sedemikian rupa sehingga khalayak dapat yakin dan lebih yakin didalam
memilih parpol dan kandidat yang ditawarkan. Para tokoh politih selalu terlibat
dengan permainan kata – kata dalam pembicaraan politik. Kata – kata dalam hal
politik tidak sekedar alat untuk menyampaikan gagasan semata, melainkan
digunakan para elit untuk membentuk gagasan - gagasan politik di hati
masyarakat. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk menguasai presepsi seseorang
dan bagaimana orang itu menggambarkan suatu realitas.
Menurut Linda Lee Kaid dalam Putra (2007), iklan politik
adalah proses komunikasi dimana seorang sumber (biasanya kandidat dan atau
partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan melalui media massa guna
meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap,
kepercayaan dan perilaku politik khalayak.
Iklan
sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas
informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak
secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan
informasi, membujuk dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1).
Seperti
halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan politik tidak lain adalah
mempersuasi dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai
tujuan tersebut iklan politik tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan
informasi tentang siapa kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa
yang telah kandidat lakukan (pengalaman dan track record kandidat, bagaimana
posisinya terhadap isu-isu tertentu dan kandidat mewakili siapa kelompoknya.
Isi (content) Iklan politik berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang
diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track
record-nya) dan pengalamannya. Iklan politik, sebagaimana dengan iklan produk
komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara
dan musik.
Secara umum, ada sembilan tahapan proses terkait dengan
pembuatan dan penyiaran iklan, baik iklan media cetak maupun media elektronik
(Johnson, 2001 dalam Nursal 2004: 254), yakni:
1. Riset tentang unsur-unsur mana
dari bagian produk politik yang akan disampaikan untuk mendukung positioning
kontestan, disampaikan dengan cara apa, melalui media mana, dan berapa durasi
atau luas halaman dan frekuensi pemasangan iklan tersebut. Riset ini dapat
dilakukan dengan focus group analysis, benchmark survey, dan targeting
analysis.
2. Keputusan pembelian, yakni
membuat komitmen pembelian ruang atau waktu terhadap media-media yang dipilih.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembelian ruang atau waktu media ini
adalah masalah optimalisasi penggunaan uang. Isu penting dalam hal ini adalah
bagaimana menggunakan waktu tayang atau ruang media secara efisien melalui
kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan antara kon-testan dengan pihak
media.
3. Mengembangkan konsep kreatif
iklan yang meliputi desain pesan, penggunaan talent, visual kunci, suara kunci,
dan berbagai aspek kreatif lainnya. Konsep ini didiskusikan secara mendalam
sampai dirasa sempurna.
4. Memproduksi iklan dengan beberapa
varian
5. Menguji respon para pembaca atau
pemirsa terhadap iklan yang telah diproduksi tersebut melalui suatu riset.
Tahap ini untuk mengetahui responden mana yang paling mernberikan respon yang
diharapkan, dan mendapat masukan mengenai perbaikan konsep kreatif dan eksekusi
iklan.
6. Produksi final iklan adalah
menyempurnakan hasil produksi sesuai dengan masukan dari hasil uji respon
responden
7. Peluncuran iklan dengan sebuah
konferensi pers untuk mendapat gaung komunikasi yang luas
8. Menyiarkan iklan
9. Menganalisis dampak iklan yang
ditayangkan. Hasil analisis ini memungkinkan untuk meneruskan, mengubah. atau
menghentikan konsep iklan.
Iklan
politik. khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam
political marketing. Nursal (2004: 256) mengutip Riset Falkowski & Cwalian
(1999) dan Kaid (1999) menunjukkan, iklan politik berguna untuk beberapa hal
berikut:
1. Membentuk citra kontestan dan sikap
emosional terhadap kandidat
2. Membantu para pemilih untuk terlepas
dari ketidak-pastian pilihan karena mempunyai kecenderungan untuk memilih
kontestan tertentu.
3. Alat untuk melakukan rekonfigurasi
citra kontestan.
4. Mengarahkan minat untuk memilih
kontestan tertentu
5. Mempengaruhi opini publik tentang
isu-isu nasional
6. Memberi pengaruh terhadap evaluasi
dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik
Untuk
mencapai sasaran obyektifnya iklan politik, harus menjawab lima pertanyaan
dasar yang diajukan oleh Beaudry dan Schaerier (1986). Pertama, apa pesan
tunggal yang paling penting untuk disampaikan kepada para pemilih. Kedua, siapa
para pemilih yang dapat dipersuasi untuk memilih anda. Ketiga, metode apa yang
paling efektif digunakan agar pesan anda sampai kepada pendukung potensial.
Keempat, kapan saat terbaik untuk menyampaikan pesan anda kepada audiens yang
dibidik. Kelima, sumberdaya apa yang tersedia untuk menyampaikan pesan kepada
audiens yang diinginkan (Nursal, 2004:230)
Gaya
iklan yang efektif di Amerika dan Asia berbeda karena adanya perbedaan kultur.
Menurut Yukio Nakayama (Cakram, Januari 2002), ada delapan kata kunci agar
sebuah iklan dapat menyentuh perhatian khalayak:
1. Emosi. Iklan yang mampu menggugah
emosi pemirsanya biasanya akan diterima secara lebih utuh oleh khalayak
sasaran. Mereka akan lebih mudah menjadi bagian dari iklan yang disajikan.
2. Empati. Dengan upaya membangun
empati dalam iklan, pemirsa akan digerakkan untuk berpihak pada pesan yang akan
disampaikan. Hal ini bukan suatu hal yang mudah, diperlukan cara penyampaian
pesan yang relevan dan dapat dipercaya.
3. Obsesi.
Perlihatkan dalam iklan bahwa obsession, dan semangat untuk meraih sesuatu.
Konsumen (para pemilih) akan tergerak untuk meraih hal-hal yang positif dan
mengalahkan suatu tantangan.
4. Mimpi. Ini
merupakan harapan yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Mimpi seringkali
menjadi pendorong semangat untuk mencapai sesuatu. Kita selalu mempunyai
harapan dan mimpi yang membuat kita selalu menjadi lebih baik dari waktu ke
waktu.
5. Kecerdasan.
Konsumen (para pemilih) menghargai kecerdasan yang muncul dari iklan-iklan yang
disaksikannya. Pemirsa bukanlah orang-orang yang bodoh, mereka menghargai
iklan-iklan yang tampil cerdas dan mampu membuat mereka berseru: aha!
6. Moral. Sisi
moral merupakan bagian penting dari kehidupan anak manusia. Kejelian mengolah
hal ini membuat sebuah ikian akan terus dikenang.
7. Realitas.
Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang tak dapat kita tolak, membuat iklan
betul-betul scbagai realitas. Suatu
hal yang nyata dan terjadi di sekitar kita.
8. Tenderness. Sikap kasih dan
pengertian merupakan hal penting yang mampu membuat konsumen ikut bersama pesan
yang disampaikan.
Lebih
jauh iklan politik juga berfungsi membentuk image kandidat. Iklan sebagai
bagian dari marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan
image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Menurut
Peteraf dan Shanley (1997) image bukan sekadar masalah persepsi atau
identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu
terhadap kelompok atau group. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional
maupun emosional. Image politik, menurut Herrop (1990), dapat mencerminkan
tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Di sini, image
politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi
masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal
yang terkait dengan aktivitas politik.
Image
politik seperti terlihat dalam produk iklan tidak selalu mencerminkan realitas
obyektif. Suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau
imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Image politik
dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat. Image politik dapat melemah, luntur
dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Image politik memiliki kekuatan
untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu,
image politik dapat memengaruhi pula opini publik sekaligus menyebarkan
makna-makna tertentu. Misalnya, katakanlah suatu partai politik memiliki image
sebagai partai yang tradisional, di mana nilai-nilai tradional lokal menjadi
tujuan perjuangan. Image tersebut dapat memotivasi aktor-aktor politik dalam
partai tersebut untuk selalu mengacu pada hal-hal yang bersifat tradisional.
Selain itu, secara otomatis masyarakat awam akan memposisikan partai tersebut
sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-nilai tradisional. Perlu dicatat
di sini bahwa ciri tradisional sering dibedakan dengan modern. Ketika suatu
partai politik dicap sebagai tradisionalis, otomatis partai tersebut memiliki
sistem nilai yang bertolak belakang dengan ide-ide modern.
Linda Kaid (dalam Putra, 2007) lebih lanjut menjelaskan,
ada tiga pengaruh iklan televisi terhadap para pemilih, yakni pengetahuan
pemilih, persepsi terhadap kontestan, dan preferensi pilihan. Pengaruh pertama
ditunjukkan oleh identifikasi nama kontestan atau kandidat yang disebut sebagai
brand name recognition. Untuk
identifikasi nama, iklan lebih efektif dibandingkan komunikasi melalui
pemberitaan, khususnya untuk kandidat atau kontestan baru. Para pemilih juga
lebih mudah mengetahui isu-isu spesifik dan posisi kandidat terhadap isu
tertentu melalui iklan dibandingkan dengan pemberitaan. Pemilih yang tingkat
keterlibatannya sedikit dalam kampanye lebih terpengaruh oleh iklan politik.
Pengaruh kedua adalah efek pada evaluasi kandidat atau
kontestan. Iklan televisi memberi dampak signifikan terhadap tingkat kesukaan
terhadap kontestan atau kandidat, khususnya terhadap policy serta kualitas
kandidat yang meliputi kualitas instrumental, dimensi simbolis, dan feno-tipe
optis (karakter verbal dan nonverbal). Hal tersebut dapat berdampak negatif dan
bisa pula positif. Tingkat pengaruh tersebut tergantung pada konsep kreatif,
eksekusi produksi, dan penempatan iklan tersebut.
Pengaruh ketiga adalah
preferensi pilihan. Berbagai studi eksperimental menunjukkan, iklan politik
mempunyai pengaruh terhadap preferensi pilihan, khususnya bagi pemilih yang
menetapkan pilihan pada saat-saat terakhir. Variabel penting yang mempengaruhi
preferensi tersebut adalah formasi citra dan tingkat awareness para pemilih
terhadap kontestan. Pemilih yang keterilibatannya dalam dunia politik rendah
lebih mudah dipengaruhi oleh iklan politik dibandingkan pemilih yang keterilibatannya
lebih tinggi.
Kesimpulan
Dengan melihat pembahasan tersebut kita
melihat bahwa iklan politik tidak sepenuhnya menjadi sebuah kekuatan tunggal
terciptanya suara pemilih yang besar. Terutama mengenai efisiensi dalam
menjangkau pemilih. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai
efektivitas iklan politik guna memenangkan sebuah pemilu dan meraih suara
sebanyak mungkin.
Roderick Hart, profesor ilmu politik
Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian cukup yang bisa
memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para calon presiden
atau kandidat tertentu. Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat,
sekuat apapun pengaruh iklan di televisi, efektivitas iklan politik belum
terjamin seperti halnya iklan pasta gigi atau produk konvensional lainnya.
Banyak kajian menunjukkan bahwa pemilih berpindah suara karena dipengaruhi
iklan politik, kampanye, penampilan kandidat, atau visi dan misi partai, hal itu
walaupun ada tetapi persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing voters atau pemilih berpindah hanya 15 persen dari total
pemilih. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran utama iklan politik karena
sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki keyakinan terhadap suatu calon
tersendiri. Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh
oleh kampanye atau iklan politik mana saja.
Dengan demikian jelas bahwa iklan politik memang seharusnya
tidak dijadikan sebagai alat utama dalam kampanye kandidat, namun hanya sebagai
alat penunjang. Kita tahu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih akan
ditentukan paling tidak oleh kondisi awal pemilih, media masa (iklan dan
berita) serta partai politik atau kontestan. Faktor keluarga dimana individu
hidup didalamnya akan lebih kuat sehingga bias menjadi kekuatan tersendiri
untuk menentukan pilihan-pilihan politik. Dan kualitas pendidikan dalam
masyarakat yang tinggi, sehingga mereka tidak begitu saja percaya dengan
pemberitaan atau iklan yang banyak sekali bermunculan bagaikan jamur di musim
penghujan.
Dalam konteks komunikasi pemasaran,
supaya efektif iklan politik diletakkan dalam konteks integrated marketing communication. Artinya harus juga didukung
oleh alat komunikasi lainnya dan kredibilitas kandidat atau partai politik itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Nursal. 2004. Political Marketing : Strategi
Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Hamad Ibnu, Konstrusi
Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit, 2004
T. Yulianti, Iklan Politik di Televisi, Kompas, 15 Maret 2004
___________. Iklan Politik Bisa
Menjebak, Kompas, 22 Mei 2008
Jurnal
Jurnal Stimuli
Ilmu Komunikasi, ISSN. 2088-2742, Edisi II, Juli-Desember 2011