Selasa, 08 Mei 2012

Dampak Iklan Politik Terhadap Hasil Pemilu


Dampak Iklan Politik Terhadap Hasil Pemilu
Wildan Lutvian Fathoni
IK/153100064
Abstrak
This paper analyzes the effects of political advertising on voting. Discuss some important issues and difficulties in measuring the effects of political advertising. Political advertising through the mass media is one of the frequently chosen alternative political parties and candidates for political leaders in the implementation of the election campaign period especially in digital and information at this time. but the results obtained do not necessarily match those in want. political advertising activity can not be determined to contribute fully to the successful outcome of the vote

Kata Kunci : Efisiensi, dampak iklan politik, hasil pemilu

Pendahuluan
Kegiatan di bidang media massa sekarang ini termasuk di Indonesia telah menjadi sebuah industry yang cukup besar. Dengan masuknya unsur  kapital, media massa mau tak mau harus memikirkan pasar, demi memperoleh keuntungan baik dari iklan ataupun penjualan. Tak terkecuali dalam kampanye politik, karena pengaruh modal, maka media massa akan lebih memperhatikan kepuasan khalayak ( pelanggan/pengiklan ) dengan partai politik , atas dasar agama, nasionalisme, ataupun kerakyatan ( sosialisme ). Keadaan demikian sangat banyak sekali kita jumpai ketika detik – detik di selenggarakannya pemilu atau waktu yang diberikan untuk kampanye, dimana saat itu masyarakat mencermati orientasi dari beberapa partai politik. Di dalam kajian social politics engineering, peran media sebagai second hand reality sangatlah terasa. Kontruksi terhadap realitas menjadi keniscayaan ketika media memainkan perannya di ranah politik. Proses supply and demand dan logika transaksional politik nasional inilah yang melahirkan terminologi politik media dan media politik yang berujung pada opini publik. Saat demokrasi sudah menjadi bagian dari industri, kesempatan terbuka seluas-luasnya untuk “menanamkan saham” di dalamnya.
Berbagai upaya yang dilakukan partai politik maupun calon pemimpin politik untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan antara lain dengan melakukan kampanye politik. Melalui proses kampanye politik ini, partai politik dan para kandidat pemimpin politik dapat mendiskripsikan gagasan dan visi misi yang dikemas melalui pesan-pesan politik. Pesan tersebut  bertujuan membentuk dan mempengaruhi opini, sikap dan sampai pada pengambilan keputusan masyarakat pada partainya.
Dari berbagai macam cara kampanye di era digital ini partai politik tidak ingin meninggalkan kesempatan emasnya untuk melakukan kampanye melalui iklan di media massa. Karena media massa mampu menimbulkan dampak tertentu pada proses pengambilan keputusan. Dampak komunikasi politik tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap bahkan sampai pada perubahan dalam pengambilan keputusan terhadap suatu kandidat atau partai politik tertentu,  karena isu media massa yang begitu melekat dan merakyat. Apa dan bagaimana pun bentuk dan sifatnya, komunikasi politik tersebut dapat menimbulkan efek tertentu pada khalayak luas.
Terpaan Iklan politik melalui media massa adalah salah satu alternatif yang sering dipilih partai politik maupun para kandidat pemimpin politik dalam pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Meskipun harus mengeluarkan dana yang cukup besar, partai politik sering menggunakan iklan melalui media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka.
Sejak awal perkembangannya sampai saat ini dampak kampanye melalui media massa mendapat perhatian para ahli dan peneliti dari berbagai bidang studi. Dalam studi komunikasi misalnya, para ahli dan peneliti telah memberikan perhatian mereka terhadap dampak media massa terhadap proses pengambilan keputusan sejak tahun 1950-an, diawali dengan studi Paul Lazarsfeld di Erie County, Ohio (1954) sebelum adanya TV yang menunjukkan adanya keterkaitan antara proses pengambilan keputusan wajib pilih dengan penggunaan media. 
Dengan kata lain, dampak media massa terhadap proses pengambilan keputusan wajib pilih ternyata hanya memperkuat (reinforce) keyakinan yang sebelumnya memang sudah dimiliki masyarakat. Para ahli dan peneliti pada masa selanjutnya mengembangkan penelitian tersebut sehingga menghasilkan teori-teori dampak/efek media massa dalam pemilihan umum dan dukungan terhadap partai politik yang sangat terkenal sampai sekarang, seperti Agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972), dan Spiral of Silence (Noelle-Neumann, 1973). Namun hasil-hasil penelitian tersebut sampai saat ini belum mampu sepenuhnya menjawab pertanyaan dan menghasilkan kesepakatan diantara para ahli dan peneliti bidang komunikasi massa mengenai ukuran, bentuk, dan sifat dampak media terhadap khalayaknya.
Tulisan ini untuk membahas aspek – aspek  penting yang berkaitan dengan analisis dampak iklan politik melalui media massa terhadap pengambilan keputusan dalam pemilihan umum. 


Pembahasan
Pemilihan umum di Indonesia sudah diadakan sejak tahun 1955 namun untuk pemilihan umum yang berfungsi untuk memilih presiden dan wakil presiden baru dimulai pada tahun  2004. Pada tahun 2004 adalah awal dari pesta demokrasi yang diadakan di Negara Indonesia yang kemudian diadakan lagi pada tahun 2009. Sehingga pada dua pesta demokrasi tersebut telah merubah strategi komunikasi partai politik maupun para kandidat pemimpin politik dengan lebih banyak menggunakan media massa sebagai saluran kampanye politik.
Kampanye merupakan salah satu upaya komunikasi politik yang biasa dilakukan oleh peserta Pemilu. Kampanye biasanya berkaitan dengan pembentukan perilaku yang sejalan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Selain itu, kampanye juga memberi perhatian pada upaya mengarahkan, memperkuat, dan mengaktifkan kecenderungan perilaku yang ada ke arah tujuan yang telah diterima secara sosial. 
Selama masa kampanye Pemilu media massa cetak dan elektronik sering dimanfaatkan parpol, kandidat (calon legislatif) serta calon presiden dan calon wakil presiden sebagai alat penyampaian pesan-pesan politik. Salah satu media penyampaian pesan-pesan politik itu adalah iklan yang sering disebut iklan politik.
Pada putaran pertama Pemilu iklan-iklan tersebut dipasang oleh sejumlah Parpol dan caleg, dan pada putaran ke dua dipasang oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Iklan-iklan politik tersebut umumnya berisi pesan-pesan persuasif kepada masyarakat yang disusun sedemikian rupa untuk menarik perhatian dan simpati khalayak. Pesan-pesan dalam iklan-iklan tersebut dimaksudkan agar pada saatnya nanti masyarakat mau memberikan suara mereka dengan memilih calon-calon dari Parpol tersebut sebagai wakil-wakil mereka di DPR-RI dan DPRD.
Penyampaian  pesan-pesan dalam iklan politik tersebut kurang memperhatikan fungsinya dalam setiap tahapan kampanye. Parpol, caleg, serta calon presiden dan calon wakil presiden yang mampu membiayai pembuatan dan pemasangan iklan politik dalam media massa bagian besar memasang iklan yang sama yang disajikan dalam media yang sama sejak awal sampai akhir masa kampanye dan cenderung akan seragam dan bersaing. Padahal, menurut Valentino dan kawan-kawan (2002), iklan politik memiliki beberapa fungsi, tergantung pada tahap-tahap kampanye dan karakteristik calon yang bersangkutan. Pada tahap awal kampanye iklan tersebut dapat difokuskan pada kualitas pribadi calon dalam upaya memperkenalkan nama calon dan menumbuhkan kesadaran mengenai posisi-posisi isu penting.
 segi sifat pesan, iklan dapat juga digolongkan menjadi iklan positif dan iklan negatif. Iklan positif adalah iklan yang memuat keunggulan dari sebuah kontestan yang dipasarkan Sedangkan iklan negatif adalah iklan tentang kelemahan pesaing. Iklan negatif lebih cepat menarik per-hatian pemilih ketimbang iklan positif. Namun demikian, iklan negatif tidak selalu memberi citra positif kepada pihak yang menggunakan. Karena itu, penggunaan iklan negatif harus memperhitungkan resikonya.
Nursal (2004: 234) mengadaptasi Kotler (1995) dan Peter dan Olson (1993), ada beberapa tahap respon pemilih terhadap stimulasi tersebut:
1.  Awareness, yaitu bila seseorang dapat mengingat atau menyadari bahwa sebuah pihak tertentu merupakan sebuah kontestan Pemilu. Dengan jumlah kontestan Pemi-lu yang banyak, membangun awareness cukup sulit dilakukan, khususnya bagi partai-partai baru. Dan seorang pemilih tidak akan memilih kontestan yang tidak memiliki brand awareness.
2.  Knowledge, yaitu ketika seorang pemilih mengetahui beberapa unsur penting mengenai produk kontestan tersebut, baik substansi maupun presentasi. Unsur-unsur itu akan diinterpretasikan sehingga membentuk makna politis tertentu dalam pikiran pemilih. Dalam pemasaran produk komersial, tahap ini disebut juga sebagai tahap pembentuk brand association.
3.  Liking, yakni tahap di mana seorang pemilih menyukai kontestan tertentu karena satu atau lebih makna politis yang terbentuk di pikirannya.
4.  Preference, tahap di mana pemilih menganggap bahwa satu atau beberapa makna politik yang terbentuk sebagai interpretasi terhadap suatu kandidat atau parpol tertentu.
5. Conviction, pemilih tersebut sampai pada keyakinan untuk memilih kontestan tertentu.
Menurut Yulianti (2004), iklan politik televisi muncul pertama kali tahun 1952 dan selalu erat dengan kontroversi. Maka sangatlah banyak respon masyarakat yang muncul terhadap suatu iklan politik yang muncul di berbagai media massa.
Sedangkan tipe-tipe pemilih dapat dibedakan sebagai berikut (Firmanzah, 2007):
1.      Pemilih Rasional
Pemilih yang memiliki orientasi tinggi pada “policy-problem-solving” dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya.
2.      Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis.
3.      Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal usul, faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Untuk Indonesia, pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas.
4.      Pemilih Skeptis
Pemilih keempat adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan “platform” dan kebijakan sebuah partai politik.

Iklan Politik melalui media massa di Indonesia
Dalam catatan sejarah Sudah Genap sepuluh kali Indonesia mengadakan pesta demokrasi atau pemilu, guna memilih pemimpinnya, tetapi yang dilaksanakan secara luber ( Langsung, bebas, rahasia ) baru berjalan dua kali yaitu pada tahun 2004 dan tahun 2009.
Iklan politik merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup sering dimanfaatkan oleh para kandidat. Sebagaimana iklan-iklan yang menawarkan produk barang dan jasa, iklan politik juga menawarkan produk visi misi, rencana program, harapan dan berbagai pesan politik kepada khalayak media massa. Iklan politik yang dibuat sedemikian rupa sehingga khalayak dapat yakin dan lebih yakin didalam memilih parpol dan kandidat yang ditawarkan. Para tokoh politih selalu terlibat dengan permainan kata – kata dalam pembicaraan politik. Kata – kata dalam hal politik tidak sekedar alat untuk menyampaikan gagasan semata, melainkan digunakan para elit untuk membentuk gagasan - gagasan politik di hati masyarakat. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk menguasai presepsi seseorang dan bagaimana orang itu menggambarkan suatu realitas.
Menurut Linda Lee Kaid dalam Putra (2007), iklan politik adalah proses komunikasi dimana seorang sumber (biasanya kandidat dan atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan melalui media massa guna meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku politik khalayak.
Iklan sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1).
Seperti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan politik tidak lain adalah mempersuasi dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut iklan politik tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan (pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu dan kandidat mewakili siapa kelompoknya. Isi (content) Iklan politik berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track record-nya) dan pengalamannya. Iklan politik, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara dan musik.
Secara umum, ada sembilan tahapan proses terkait dengan pembuatan dan penyiaran iklan, baik iklan media cetak maupun media elektronik (Johnson, 2001 dalam Nursal 2004: 254), yakni:
1. Riset tentang unsur-unsur mana dari bagian produk politik yang akan disampaikan untuk mendukung positioning kontestan, disampaikan dengan cara apa, melalui media mana, dan berapa durasi atau luas halaman dan frekuensi pemasangan iklan tersebut. Riset ini dapat dilakukan dengan focus group analysis, benchmark survey, dan targeting analysis.
2. Keputusan pembelian, yakni membuat komitmen pembelian ruang atau waktu terhadap media-media yang dipilih. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembelian ruang atau waktu media ini adalah masalah optimalisasi penggunaan uang. Isu penting dalam hal ini adalah bagaimana menggunakan waktu tayang atau ruang media secara efisien melalui kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan antara kon-testan dengan pihak media.
3. Mengembangkan konsep kreatif iklan yang meliputi desain pesan, penggunaan talent, visual kunci, suara kunci, dan berbagai aspek kreatif lainnya. Konsep ini didiskusikan secara mendalam sampai dirasa sempurna.
4. Memproduksi iklan dengan beberapa varian
5. Menguji respon para pembaca atau pemirsa terhadap iklan yang telah diproduksi tersebut melalui suatu riset. Tahap ini untuk mengetahui responden mana yang paling mernberikan respon yang diharapkan, dan mendapat masukan mengenai perbaikan konsep kreatif dan eksekusi iklan.
6. Produksi final iklan adalah menyempurnakan hasil produksi sesuai dengan masukan dari hasil uji respon responden
7. Peluncuran iklan dengan sebuah konferensi pers untuk mendapat gaung komunikasi yang luas
8. Menyiarkan iklan
9. Menganalisis dampak iklan yang ditayangkan. Hasil analisis ini memungkinkan untuk meneruskan, mengubah. atau menghentikan konsep iklan.
Iklan politik. khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam political marketing. Nursal (2004: 256) mengutip Riset Falkowski & Cwalian (1999) dan Kaid (1999) menunjukkan, iklan politik berguna untuk beberapa hal berikut:
1.      Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat
2.      Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidak-pastian pilihan karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.
3.      Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.
4.      Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu
5.      Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional
6.      Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik
Untuk mencapai sasaran obyektifnya iklan politik, harus menjawab lima pertanyaan dasar yang diajukan oleh Beaudry dan Schaerier (1986). Pertama, apa pesan tunggal yang paling penting untuk disampaikan kepada para pemilih. Kedua, siapa para pemilih yang dapat dipersuasi untuk memilih anda. Ketiga, metode apa yang paling efektif digunakan agar pesan anda sampai kepada pendukung potensial. Keempat, kapan saat terbaik untuk menyampaikan pesan anda kepada audiens yang dibidik. Kelima, sumberdaya apa yang tersedia untuk menyampaikan pesan kepada audiens yang diinginkan (Nursal, 2004:230)
Gaya iklan yang efektif di Amerika dan Asia berbeda karena adanya perbedaan kultur. Menurut Yukio Nakayama (Cakram, Januari 2002), ada delapan kata kunci agar sebuah iklan dapat menyentuh perhatian khalayak:
1. Emosi. Iklan yang mampu menggugah emosi pemirsanya biasanya akan diterima secara lebih utuh oleh khalayak sasaran. Mereka akan lebih mudah menjadi bagian dari iklan yang disajikan.
2. Empati. Dengan upaya membangun empati dalam iklan, pemirsa akan digerakkan untuk berpihak pada pesan yang akan disampaikan. Hal ini bukan suatu hal yang mudah, diperlukan cara penyampaian pesan yang relevan dan dapat dipercaya.
3. Obsesi. Perlihatkan dalam iklan bahwa obsession, dan semangat untuk meraih sesuatu. Konsumen (para pemilih) akan tergerak untuk meraih hal-hal yang positif dan mengalahkan suatu tantangan.
4. Mimpi. Ini merupakan harapan yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Mimpi seringkali menjadi pendorong semangat untuk mencapai sesuatu. Kita selalu mempunyai harapan dan mimpi yang membuat kita selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
5. Kecerdasan. Konsumen (para pemilih) menghargai kecerdasan yang muncul dari iklan-iklan yang disaksikannya. Pemirsa bukanlah orang-orang yang bodoh, mereka menghargai iklan-iklan yang tampil cerdas dan mampu membuat mereka berseru: aha!
6. Moral. Sisi moral merupakan bagian penting dari kehidupan anak manusia. Kejelian mengolah hal ini membuat sebuah ikian akan terus dikenang.
7. Realitas. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang tak dapat kita tolak, membuat iklan betul-betul scbagai realitas. Suatu hal yang nyata dan terjadi di sekitar kita.
8. Tenderness. Sikap kasih dan pengertian merupakan hal penting yang mampu membuat konsumen ikut bersama pesan yang disampaikan.
Lebih jauh iklan politik juga berfungsi membentuk image kandidat. Iklan sebagai bagian dari marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Menurut Peteraf dan Shanley (1997) image bukan sekadar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau group. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional. Image politik, menurut Herrop (1990), dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Di sini, image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik.
Image politik seperti terlihat dalam produk iklan tidak selalu mencerminkan realitas obyektif. Suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Image politik dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat. Image politik dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Image politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu, image politik dapat memengaruhi pula opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu. Misalnya, katakanlah suatu partai politik memiliki image sebagai partai yang tradisional, di mana nilai-nilai tradional lokal menjadi tujuan perjuangan. Image tersebut dapat memotivasi aktor-aktor politik dalam partai tersebut untuk selalu mengacu pada hal-hal yang bersifat tradisional. Selain itu, secara otomatis masyarakat awam akan memposisikan partai tersebut sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-nilai tradisional. Perlu dicatat di sini bahwa ciri tradisional sering dibedakan dengan modern. Ketika suatu partai politik dicap sebagai tradisionalis, otomatis partai tersebut memiliki sistem nilai yang bertolak belakang dengan ide-ide modern.
Linda Kaid (dalam Putra, 2007) lebih lanjut menjelaskan, ada tiga pengaruh iklan televisi terhadap para pemilih, yakni pengetahuan pemilih, persepsi terhadap kontestan, dan preferensi pilihan. Pengaruh pertama ditunjukkan oleh identifikasi nama kontestan atau kandidat yang disebut sebagai brand name recognition. Untuk identifikasi nama, iklan lebih efektif dibandingkan komunikasi melalui pemberitaan, khususnya untuk kandidat atau kontestan baru. Para pemilih juga lebih mudah mengetahui isu-isu spesifik dan posisi kandidat terhadap isu tertentu melalui iklan dibandingkan dengan pemberitaan. Pemilih yang tingkat keterlibatannya sedikit dalam kampanye lebih terpengaruh oleh iklan politik.
Pengaruh kedua adalah efek pada evaluasi kandidat atau kontestan. Iklan televisi memberi dampak signifikan terhadap tingkat kesukaan terhadap kontestan atau kandidat, khususnya terhadap policy serta kualitas kandidat yang meliputi kualitas instrumental, dimensi simbolis, dan feno-tipe optis (karakter verbal dan nonverbal). Hal tersebut dapat berdampak negatif dan bisa pula positif. Tingkat pengaruh tersebut tergantung pada konsep kreatif, eksekusi produksi, dan penempatan iklan tersebut.
Pengaruh ketiga adalah preferensi pilihan. Berbagai studi eksperimental menunjukkan, iklan politik mempunyai pengaruh terhadap preferensi pilihan, khususnya bagi pemilih yang menetapkan pilihan pada saat-saat terakhir. Variabel penting yang mempengaruhi preferensi tersebut adalah formasi citra dan tingkat awareness para pemilih terhadap kontestan. Pemilih yang keterilibatannya dalam dunia politik rendah lebih mudah dipengaruhi oleh iklan politik dibandingkan pemilih yang keterilibatannya lebih tinggi.
Kesimpulan
Dengan melihat pembahasan tersebut kita melihat bahwa iklan politik tidak sepenuhnya menjadi sebuah kekuatan tunggal terciptanya suara pemilih yang besar. Terutama mengenai efisiensi dalam menjangkau pemilih. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai efektivitas iklan politik guna memenangkan sebuah pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin.
Roderick Hart, profesor ilmu politik Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian cukup yang bisa memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para calon presiden atau kandidat tertentu. Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat, sekuat apapun pengaruh iklan di televisi, efektivitas iklan politik belum terjamin seperti halnya iklan pasta gigi atau produk konvensional lainnya. Banyak kajian menunjukkan bahwa pemilih berpindah suara karena dipengaruhi iklan politik, kampanye, penampilan kandidat, atau visi dan misi partai, hal itu walaupun ada tetapi persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing voters atau pemilih berpindah hanya 15 persen dari total pemilih. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran utama iklan politik karena sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki keyakinan terhadap suatu calon tersendiri. Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh oleh kampanye atau iklan politik mana saja.
Dengan demikian jelas bahwa iklan politik memang seharusnya tidak dijadikan sebagai alat utama dalam kampanye kandidat, namun hanya sebagai alat penunjang. Kita tahu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih akan ditentukan paling tidak oleh kondisi awal pemilih, media masa (iklan dan berita) serta partai politik atau kontestan. Faktor keluarga dimana individu hidup didalamnya akan lebih kuat sehingga bias menjadi kekuatan tersendiri untuk menentukan pilihan-pilihan politik. Dan kualitas pendidikan dalam masyarakat yang tinggi, sehingga mereka tidak begitu saja percaya dengan pemberitaan atau iklan yang banyak sekali bermunculan bagaikan jamur di musim penghujan.
Dalam konteks komunikasi pemasaran, supaya efektif iklan politik diletakkan dalam konteks integrated marketing communication. Artinya harus juga didukung oleh alat komunikasi lainnya dan kredibilitas kandidat atau partai politik itu sendiri. 

DAFTAR PUSTAKA
Adnan Nursal. 2004. Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Hamad Ibnu, Konstrusi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit, 2004
T. Yulianti, Iklan Politik di Televisi, Kompas, 15 Maret 2004
___________. Iklan Politik Bisa Menjebak, Kompas, 22 Mei 2008
Jurnal
Jurnal Stimuli Ilmu Komunikasi, ISSN. 2088-2742, Edisi II, Juli-Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar