Judul : Madre (kumpulan cerita)
Penulis : Dewi “Dee “Lestari
Penerbit : Bentang Pustaka
Tanggal terbit : Juli – 2011
Harga : Rp 47.000
“Apa rasanya sejarah hidup kita berubah dalam sehari? Darah saya mendadak menjadi seperempat Tionghoa, nenek saya ternyata tukang roti, dan dia, bersama kakek yang tidak saya kenal, mewariskan anggota keluarga yang tidak pernah saya tahu : Madre,”.
Itulah salah satu kutipan kalimat yang diambil dari “Madre”, buku ketujuh Dewi Lestari yang kini marak di berbagai toko buku. Buku setebal 160 halaman ini berisi karya-karya Dee, panggilan akrab sang penulis, dalam lima tahun terakhir (2006-2011). Dan hampir separuh dari buku ini mengisahkan tentang “Madre” dan filosofi roti yang ada di benak para artisan tempo dulu.
Kata “madre” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “ibu”. Madre berkisah tentang kehidupan Tansen, sang tokoh utama cerita, yang mendapat wasiat dari seorang kakek yang tidak pernah dikenalnya. Pada mulanya, Tansen bersikap tak acuh bahkan hampir menjual warisan yang menjadi haknya. Ia ingin segera meninggalkan kota Jakarta yang penuh sesak dan kembali ke Bali, pergi dari semua keterikatan yang tak pernah ia duga selama ini.
Namun ternyata “Madre” mampu membuatnya bertahan bahkan berjuang menghidupkan kembali toko roti tua yang kini menjadi haknya. “Madre” adalah satu-satunya alasan mengapa Tan de Bakker harus dipertahankan. Bahkan Mei, sang peri cantik yang sukses dengan bisnis rotinya, itu pun datang dalam kehidupan cinta Tansen berkat “Madre”. Tentu keberadaan madre pun menjadi pertanyaan yang mencoba dicari jawabannya oleh pembaca di dalam buku ini. Apakah Madre? Siapakah Madre? Rahasia apa yang tersimpan di balik surat wasiat itu?
Dee dalam buku ini tidak hanya menunjukkan kepiawaiannya meramu cerita, namun ia juga mampu memperkaya pengetahuan pembaca dengan madre dan filosofi roti yang mengelilinginya. Namun di tengah semua kelebihannya, konsep buku “Madre” sayangnya tidak jauh berbeda dengan antologi “Filosofi Kopi” karangan Dee sebelumnya. Dominasi satu cerita yang memakan banyak halaman masih ditemui dalam buku berwarna sampul kuning kunyit ini. Jika ditulis dengan lebih mendalam dan lebih panjang, “Madre” sebenarnya mampu menjadi “biang novel” yang berkualitas. Buku yang menghadirkan kisah dan pengetahuan seputar toko roti masih sangat jarang, sehingga rasa haus pembaca akan dunia roti pun dapat benar-benar dipuaskan jika Madre hadir lebih panjang.
Di sisi lain, pesona “Madre” sendiri seharusnya tidak perlu dicampur aduk dengan curahan hati dan puisi seperti “Perempuan dan Rahasia”, “Ingatan tentang Kalian”, “Wajah Telaga”, “Tanyaku pada Bambu”, dan “33”. Tapi tetap saja bukan Dee namanya jika ia tak mampu memukau dengan kisah-kisah penuh filosofi yang dituliskannya. Kisah-kisah platonik yang ditulis oleh Dee sejatinya bukan sekedar cerita, namun lebih kepada hasil perenungan spiritualitasnya tentang cinta dan kehidupan. Maka jangan heran jika pembaca buku-buku Dee bukan hanya dibuat penasaran, namun juga merasa tertawan!
*dimuat di Koran
Jakarta, 4 Agustus 2011
Salam Juara
Salam Juara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar